NAMA Tatang Ramadhan Bouqie tentu terbilang nama “baru” dalam
peta seni rupa (kontemporer) Indonesia. Selama ini publik mengenalnya
sebagai seorang disainer grafis dan ilustrator handal yang karyanya
kerap mengemuka di Majalah Berita Mingguan Tempo. Lalu pada
kurun 1999-2008 karya alumnus Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB
yang lulus tahun 1980 ini banyak menghiasi harian Media Indonesia. Bahkan posisinya sebagai creative director Media Group yang membawahi harian Media Indonesia dan Metro TV.
Karya lukisnya bertajuk “Teater dari Saluran 99” yang
berukuran 2 x 12 meter (empat panel) seperti tidak “identik” dengan
usianya yang telah beranjak senja. Ya, laki-laki yang masih cukup trendy ini ternyata terlahir pada tanggal 11 Mei 1953. Tak sedikit pengunjung pameran Indonesia Art Award (IAA) 2010 di Galeri Nasional Indonesia, 17-27 Juni 2010, yang tidak menyangka bahwa karya “Teater dari Saluran 99”
dikreasi oleh seorang Tatang Ramadhan yang sudah tidak muda lagi.
Spirit dan energinya—yang bisa dilacak dari artefak karya itu—seolah
masih mengisyaratkan gelegak ala anak muda yang butuh ruang implementasi
kreatif yang memadai.
Bagaimana Tatang berproses kreatif sekarang hingga salah satunya menghasilkan karya “Teater dari Saluran 99” yang meraih penghargaan 3 Besar Indonesia Art Award 2010 itu? Berikut petikan wawancara Indonesia Art News
dengan pengajar desain komunikasi visual pada Sekolah Tinggi Ilmu
Komunikasi (STIKOM) dan Sekolah Tinggi Desain *KAMPUS PINGGIR KALI* (*KAMPUS PINGGIR KALI*), Jakarta
itu.
“Teater dari Saluran 99″, panel 1, 2, 3, dan 4. Courtesy of Tatang Ramadhan Bouqie.
• Kegelisahan macam apa yang membuat Anda bisa melahirkan karya “Teater dari Saluran 99” (TdS99)?
Ada dua wilayah kegelisahan yang ada pada diri saya. Kegelisahan
pertama, sifatnya pribadi sekali yaitu, hasrat untuk dapat melakukan
tindakan “melukis” yang muncul dari hari ke hari, bulan, tahun, bahkan
berpuluh tahun sehingga menjadi semacam obsesi yang permanen. Tetapi
“karena situasi” saya tidak dapat dan tidak mampu melakukannya, kecuali
sebatas “tindakan ala kadarnya”.
Sebagaimana Anda mafhum—atas pelbagai alasan dan sebab—saya banyak
sekali membelanjakan waktu untuk “tindakan-tindakan lain”, antara lain
bekerja sebagai pegawai kantoran, tentu, dengan segala aturan dan
konsekuensinya. Namun, saya tidak pernah punya tidak punya rasa sesal
dengan hal seperti itu, karena bagi saya tidak pernah ada yang nihil dan
non-sense dari setiap detik dan perjalanan. Bagi saya, setiap tapak
perjalanan hidup, baik-buruk, pahit-manis, sepertinya bernilai sama.
Sama-sama memiliki harga.
Saya tak pernah berfikir untuk kecewa dan menghukum diri sendiri. Buat saya, rasa gembira selalu lebih bermanfaat.
Wilayah kegelisahan kedua, lebih bersifat sosial dan rasanya tidak
menjadi spesifik lagi, karena – asumsi saya – dengan keadaan sosial
masyarakat bangsa “seperti ini” barangkali bukan hanya saya sendiri yang
dibuatnya menjadi “orang yang gelisah”, tetapi KITA. Berapa orang?
Kurang lebih 250 juta orang? Yang kedua ini, lebih dan sangat
menggelisahkan. Tetapi, fanatisme saya: Berputar dalam pusaran “mistis”
itu, tetap dengan dan dalam rasa gembira.
• Secara konseptual, apa yang mendasari kelahiran karya “TdS99” itu?
Saya selalu tertarik dengan faktor manusia dengan segala aspeknya.
Peran, tingkat, perilaku, strata. Atas sampai bawah. Namun, waktu dan
langkah saya tentu saja terbatas. Dan, televisi telah membantu
memperpanjang tatap dan langkah saya. Televisi menyuguhkan segala aspek
manusia dengan tuntas dan sempurna—terkadang—rekayasa.
Ada rasa takjub dan getir pada diri saya. Di televisi saya melihat laku — peristiwa manusia menjadi baur: Fiksi dan Non-Fiksi, Real dan Un-Real.
Ada kekacauan di situ. Ada yang bilang itu absurd. Tetapi saya lebih
suka bilang itu melulu mistis. Saya berpikir baik sekali kalau saya
dapat banyak “mencatat”nya. Saya sangat bergairah. Dalam kegelisahan
yang nyaris permanen. Saya coba telusuri saluran-saluran lain. Saya
menemukan jumlah 99. Semua atas nama Tuhan.
• Pokok soal apa yang sedang Anda ungkapkan lewat karya TdS99 itu? Apakah ada concern sosial (yang berangkat dari problem personal) yang sedang anda perjuangkan?
Berabad-abad manusia merekayasa segala aspek budayanya. Setapak demi
setapak demi peradaban, budaya dan kemuliaan lebih bagi manusia—juga
makhluk dan kehidupan lainnya.
Akan hal itu, ada kepercayaan penuh dalam diri saya. Semacam
idealisasi. Sejarah manusia berjalan dan saya teringat akan waktu.
Mencoba berimajinasi, yang muncul citra sebuah jam dengan jarum jam yang
bergerak mundur. Kok mundur? Saya bertanya kepada diri sendiri, apakah
saya masih percaya pada kemuliaan manusia yang seringkali digagas itu?
Dan, apakah wujud kemuliaan manusia itu masih seperti ide yang pernah
saya yakini, dulu? Tapi ujungnya saya tak mau mengubah pikiran saya,
bahwa saya akan tetap pada idealisasi: Manusia, hanya omong kosong tanpa
kemuliaan yang berbasis pada adab.
• Sepertinya Anda menjadi sutradara yang teliti namun rumit untuk TdS99. Adakah studi atau pengamatan khusus untuk membantu mengeksekusi karya itu?
Pertanyaan ini menyenangkan hati saya, karena ada empati dan simpati
di dalamnya. Terjadi peristiwa-peristiwa chaotic nyaris setiap detik,
menumpuk seperti keping-keping puzzle yang dituang dari keranjang dengan
tampilan image yang serba unik, pada masing-masing keping. Saya seperti
berdiri dalam benang belukar dan dilempar segumpal benang kusut
berbagai jenis dan warna. Saya melihat itu sangat rumit, tapi saya harus
mengurainya. Saya perlu peta untuk dapat menaksir secara lebih jernih
kualitas fakta dalam kekusutan itu. Saya perlu mengolah, menyusun,
menata dan menampilkannya menjadi sebuah presentasi yang yang ada arti.
Atas jawaban seperti itu, saya tidak menolak kalau dinilai
mendramatisisasi masalah.
Saya melakukan studi dan pengamatan khusus dalam rangka mengeksekusi
karya TdS99. Interest saya pada perilaku dan aksi-aksi manusia tak
menyisakan ruang atau landskap. Aktor-aktor utamanya melulu manusia.
Saya merasa ada tantangan dan tekanan ketika melakukannya, tetapi tidak
masif sifatnya karena sumber dan fakta-fakta mengalir dan datang
menggenangi saya dalam tempo yang tidak seketika. Berhari-hari,
berbulan-bulan dan bertahun-tahun.
• Selama ini kan Anda lebih dikenal sebagai seorang ilustrator dan disainer. Nah, bagaimana proses Anda mengerjakan lukisan TdS99?
Saya bersyukur ada kesempatan menjalani secara praktis
profesi-profesi itu, karena problem, disiplin, dan praktikanya telah
mengajari saya estetik dan etik yang beragam. Ulang alik dalam dunia
ilustrasi dan dunia desain telah membimbing saya pada tradisi “sadar
keseimbangan” dalam mengelola emosi dan rasionalitas yang selalu muncul
bersamaan setiap saat mau melakukan eksekusi.
Secara skala kuantitas – tema, problem, teknis dan fisik – karya
TdS99 itu rasanya cukup besar. Nah, diluar ide, secara praktis saya
memulainya dengan mengaplikasikan metoda-metoda dan tata kelola –
merumuskan masalah, riset, pengumpulan data, analisis, skala prioritas,
produktifitas sampai masalah efisiensi dan efektifitas – yang lazim
dilakukan dalam tradisi kerja men-desain.
Tradisi ilustrasi – yang umumnya dibuat dalam bidang-bidang yang
relatif kecil – rupanya telah membimbing saya pada tradisi dan orientasi
ke masalah detail dan rinci.
Kesimpulannya, pada saat saya mau melakukan eksekusi praktis lukisan
TdS99, telah tersedia semacam skema dan peta bahkan logistik. Kesemuanya
menjadi semacam koridor yang walau di dalam proses yang berjalan saya
selalu terbuka dengan kemungkinan-kemungkinan kebutuhan improvisatoris
koridor tersebut di atas selalu menghindarkan saya dari tindakan yang
melenceng secara drastis.
• Adakah modus kreatif mendasar yang berbeda antara berkarya sebagai illustrator atau disainer dengan sebagai pelukis?
Perbedaan modus yang mendasar, antara lain, ada pada masalah
datangnya inisiatif untuk berkarya. Pada umumnya, dalam kerja ilustrasi
dan—terlebih—desain desain, inisiatif umumnya datang dari luar diri
saya, sehingga faktor-faktor dan pertimbangan-pertimbangan kreatif,
estetik dan teknis hampir tidak ada jalan untuk menghindar dari peran
dan posisi “pihak luar” tadi—penulis cerita, penulis berita atau apa
yang disebut klien.
Sedangkan, saya, dalam posisi sebagai pelukis, seluruh inisiatif
lahir dari dalam diri saya. Sedangkan “pihak luar”—alam, benda, manusia
dengan segala aspeknya—hanya sebagai sumber, ide atau provokator saja.
Kesimpulannya, ketika saya berdiri sebagai illustrator dan desainer,
peran praktisnya adalah kombinasi antara: partnership, pelayanan dan
kompromi. Oleh karenanya, target “kepuasan” urut prioritasnya
berorientasi kepada “pihak luar”. Berbeda saat berdiri sebagai pelukis
(seniman) peran praktis saya sangat otoritatif dan target “kepuasan”pun
secara prioritas berorientasi kepada diri saya sendiri.
• Dalam proses pengerjaan karya TdS99, hal krusial apa yang merumitkan pekerjaan tersebut?
Seperti telah saya ceritakan atas beberapa pertanyaan sebelumnya
antara lain tentang obsesi, cara, sistematika dan praktika terutama saat
pra dan proses membuat karya TdS99, saya bersyukur, tidak menjumpai hal rumit yang bersifat krusial.
Memang ada masalah teknis, tetapi kecil saja. Yaitu, bahwa karya TdS99
saya kerjakan di ruang relatif sempit, di ruang tamu rumah saya yang
hanya seluas kurang lebih 3×3 m saja. Ha…ha…ha… Sama sekali tidak
masalah.
• Satu karya bertajuk TdS99 ternyata terdiri dari 4 panel hingga panjangnya 12 meter. Butuh waktu berapa lama untuk menuntaskan karya itu?
Karya TdS99 saya kerjakan pada saat-saat awal hari pensiun
saya dari pegawai kantoran dan meraih kembali secara penuh seluruh waktu
yang saya miliki. Sementara, beberapa hal non-teknis relatif telah siap
ada di kepala, maka, karya TdS99 dapat saya selesaikan dalam waktu yang
relatif singkat. Sekitar 30 hari dengan jam kerja rata-rata 8 jam per
hari.
• Sebagai orang yang tak muda lagi, ini tentu karya yang
menyita waktu dan tenaga. Atau sebenarya ini semacam solusi atas gejala “post power syndrome” setelah tak sibuk berkantor?
Ini pertanyaan yang sangat simpatik dan manusiawi. Faktor usia dan
tenaga yang ada pada orang seperti saya – di atas usia 55 tahun – adalah
realitas yang tidak boleh saya abaikan. Saya harus menjaga kesadaran
diri agar tidak bersikap romantik, emosional apalagi ambisius. Saya
berusaha rileks dan gembira saja dalam melakoni setiap proses kreasi
tersebut.
• Anda kurang lebih seperti “pendatang baru” dalam belantara
seni rupa (kontemporer) Indonesia kini. Apa pembacaan Anda atas tema
“Contemporaneity” yang disodorkan oleh panitia IAA 2010? Apa Anda tak
justru berusaha keluar dari “perangkap” tema itu?
“Post Power Syndrome”? Ha…Ha…Ha… Justru kondisi itu yang
paling tidak saya inginkan ada pada diri saya. Sebagaimana – terus
terang – saya selalu punya perasaan sulit untuk bisa bersimpati kepada
penderita syndrome yang Anda maksud.
Kebenarannya, saya memutuskan diri untuk pensiun dari kerja kantoran
justru didorong oleh satu-satunya alasan, saya ingin segera dapat
kembali pada aktivitas dasar dan akar kesenirupaan saya. Saya tidak
ingin kejam dan menjadi pemasung pada hasrat alamiah yang ada pada diri
saya.
Dalam kerja kesenian, saya ingin jernih dan tanpa pamrih. Oleh sebab
itu, saya tidak tertarik dan tidak risau dengan label-label atau
klasifikasi tentang: baru-lama, junior-senior, dan lain sebagainya.
Namun begitu, saya akan menghormati kalau label dan klasifikasi
(di)berlaku(kan) di dalam masyarakat apresiator kesenian.
Mengenai hal terkait masalah pembacaan, pembahasan atas tema-tema dan
wacana-wacana, saya lebih mempercayai, menghormatinya sebagai wilayah
para pengamat, kritikus.
Mengenai perangkap tema atau bukan? Terperangkap tema atau tidak?
Rasanya saya tidak akan pernah tahu. Rambu dan markanya barangkali ada,
tapi biarlah saya lebih berkonsentrasi pada “jalan alamiah” kesenian
saya.
• Tak sedikit pihak yang terkejut dengan pencapaian Anda
hingga meraih 3 Besar IAA 2010. Ini sudah sempat Anda bayangkan, atau
tak pernah Anda pikirkan? Kenapa?
Barangkali jawaban yang akan saya berikan atas pertanyaan ini akan
terasa dan tampak klise atau seperti sebuah upaya “merendahkan hati”.
Lintasan harapan tentu ada. Bohong kalau tidak. Saya anggap itu hal
manusiawi. Memikirkannya? Saya jawab: TIDAK.
Kenapa? Alasan saya: pertama, saya menyertakan karya saya pada ajang
IAA-2010 dengan niat “mempergaulkan”, “mendialogkan” dan
“mengkomunikasikan” karya kesenian saya kepada karya-karya kesenian dari
teman-teman perupa lainnya. Kedua, terkait “kompetisi”, untuk masalah
keberhasilan maksimum saya tidak menganggapnya sebagai suatu
kemustahilan. Namun malah saya memastikan bahwa IAA-2010 adalah sebuah
ajang yang sangat ketat. Bahwa kemudian karya saya, TdS99, bisa
meraih prestasi maksimum di IAA-2010 itu, dengan rasa syukur, saya
menerimanya sebagai sebuah kepercayaan, tanggung jawab dan tantangan.
Sekali lagi jawaban saya ini sepertinya klise banget.
• Sebagai orang yang lama bergelut di dunia media massa, yang akrab dengan soal deadline,
kompromi dengan pemilik kapital (pemasang iklan) dan semacamnya, adakah
hal spesifik yang Anda lakukan dulu berkait dengan proses kreatif
sebagai seorang seniman?
Sebagaimana telah saya singgung pada jawaban saya atas pertanyaan
sebelumnya, hal spesifik dari pengalaman kerja saya di media massa yang
saya aplikasikan dalam proses kerja kesenimanan saya adalah, antara
lain, tradisi kerja sistematik, menghargai proses, efektivitas, etos
yang baik dan orientasi pada kualitas.
Dan hal spesifik yang hilang dalam proses kerja kesenimanan saya
adalah tradisi kompromi yang mutlak dengan organisasi, pemilik kapital,
klien atau konsumen/pasar.
• Art project penting apa yang sedang anda kerjakan?
Telah saya sampaikan juga pada jawaban sebelumnya, bagi saya,
datangnya apresiasi dan penghargaan berarti dan bermakna secara
substantif adalah adanya “tuntutan” dan “tantangan” terhadap
kesinambungan kreativitas saya.
Karena itu, saat ini saya sedang berpikir untuk dapat menyiapkan
suatu kegiatan presentasi karya-karya seni rupa saya. Mudah-mudahan
bisa, ya.
tulisan ini copas dari situs dgi indonesia yg di posting 30 juni 2010
semoga menjadi inspirasi kita semua.....