FORUM KAMPUS PINGGIR KALI

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
WELKAM HOME, FEEL FREE TO SHARE ANYTHING.

2 posters

    Wawancara Tatang Ramadhan: “Saya Jaga Agar Tak Romantik”

    pamansam
    pamansam
    PENDATANG


    Join date : 21.10.11
    Jumlah posting : 32

    Wawancara Tatang Ramadhan: “Saya Jaga Agar Tak Romantik” Empty Wawancara Tatang Ramadhan: “Saya Jaga Agar Tak Romantik”

    Post by pamansam Mon Nov 21, 2011 4:47 pm

    Wawancara Tatang Ramadhan: “Saya Jaga Agar Tak Romantik” TRB-2-small
    NAMA Tatang Ramadhan Bouqie tentu terbilang nama “baru” dalam
    peta seni rupa (kontemporer) Indonesia. Selama ini publik mengenalnya
    sebagai seorang disainer grafis dan ilustrator handal yang karyanya
    kerap mengemuka di Majalah Berita Mingguan
    Tempo. Lalu pada
    kurun 1999-2008 karya alumnus Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB
    yang lulus tahun 1980 ini banyak menghiasi harian
    Media Indonesia. Bahkan posisinya sebagai creative director Media Group yang membawahi harian Media Indonesia dan Metro TV.
    Karya lukisnya bertajuk “Teater dari Saluran 99” yang
    berukuran 2 x 12 meter (empat panel) seperti tidak “identik” dengan
    usianya yang telah beranjak senja. Ya, laki-laki yang masih cukup
    trendy ini ternyata terlahir pada tanggal 11 Mei 1953. Tak sedikit pengunjung pameran Indonesia Art Award (IAA) 2010 di Galeri Nasional Indonesia, 17-27 Juni 2010, yang tidak menyangka bahwa karya “Teater dari Saluran 99
    dikreasi oleh seorang Tatang Ramadhan yang sudah tidak muda lagi.
    Spirit dan energinya—yang bisa dilacak dari artefak karya itu—seolah
    masih mengisyaratkan gelegak ala anak muda yang butuh ruang implementasi
    kreatif yang memadai.


    Bagaimana Tatang berproses kreatif sekarang hingga salah satunya menghasilkan karya “Teater dari Saluran 99” yang meraih penghargaan 3 Besar Indonesia Art Award 2010 itu? Berikut petikan wawancara Indonesia Art News
    dengan pengajar desain komunikasi visual pada Sekolah Tinggi Ilmu
    Komunikasi (STIKOM) dan Sekolah Tinggi Desain *KAMPUS PINGGIR KALI* (*KAMPUS PINGGIR KALI*), Jakarta
    itu.

    Wawancara Tatang Ramadhan: “Saya Jaga Agar Tak Romantik” Panel-1-small
    Wawancara Tatang Ramadhan: “Saya Jaga Agar Tak Romantik” Panel-2-small
    Wawancara Tatang Ramadhan: “Saya Jaga Agar Tak Romantik” Panel-3-small
    Wawancara Tatang Ramadhan: “Saya Jaga Agar Tak Romantik” Panel-4-small
    “Teater dari Saluran 99″, panel 1, 2, 3, dan 4. Courtesy of Tatang Ramadhan Bouqie.


    • Kegelisahan macam apa yang membuat Anda bisa melahirkan karya “Teater dari Saluran 99” (TdS99)?

    Ada dua wilayah kegelisahan yang ada pada diri saya. Kegelisahan
    pertama, sifatnya pribadi sekali yaitu, hasrat untuk dapat melakukan
    tindakan “melukis” yang muncul dari hari ke hari, bulan, tahun, bahkan
    berpuluh tahun sehingga menjadi semacam obsesi yang permanen. Tetapi
    “karena situasi” saya tidak dapat dan tidak mampu melakukannya, kecuali
    sebatas “tindakan ala kadarnya”.

    Sebagaimana Anda mafhum—atas pelbagai alasan dan sebab—saya banyak
    sekali membelanjakan waktu untuk “tindakan-tindakan lain”, antara lain
    bekerja sebagai pegawai kantoran, tentu, dengan segala aturan dan
    konsekuensinya. Namun, saya tidak pernah punya tidak punya rasa sesal
    dengan hal seperti itu, karena bagi saya tidak pernah ada yang nihil dan
    non-sense dari setiap detik dan perjalanan. Bagi saya, setiap tapak
    perjalanan hidup, baik-buruk, pahit-manis, sepertinya bernilai sama.
    Sama-sama memiliki harga.

    Saya tak pernah berfikir untuk kecewa dan menghukum diri sendiri. Buat saya, rasa gembira selalu lebih bermanfaat.

    Wilayah kegelisahan kedua, lebih bersifat sosial dan rasanya tidak
    menjadi spesifik lagi, karena – asumsi saya – dengan keadaan sosial
    masyarakat bangsa “seperti ini” barangkali bukan hanya saya sendiri yang
    dibuatnya menjadi “orang yang gelisah”, tetapi KITA. Berapa orang?
    Kurang lebih 250 juta orang? Yang kedua ini, lebih dan sangat
    menggelisahkan. Tetapi, fanatisme saya: Berputar dalam pusaran “mistis”
    itu, tetap dengan dan dalam rasa gembira.

    • Secara konseptual, apa yang mendasari kelahiran karya “TdS99” itu?

    Saya selalu tertarik dengan faktor manusia dengan segala aspeknya.
    Peran, tingkat, perilaku, strata. Atas sampai bawah. Namun, waktu dan
    langkah saya tentu saja terbatas. Dan, televisi telah membantu
    memperpanjang tatap dan langkah saya. Televisi menyuguhkan segala aspek
    manusia dengan tuntas dan sempurna—terkadang—rekayasa.

    Ada rasa takjub dan getir pada diri saya. Di televisi saya melihat laku — peristiwa manusia menjadi baur: Fiksi dan Non-Fiksi, Real dan Un-Real.
    Ada kekacauan di situ. Ada yang bilang itu absurd. Tetapi saya lebih
    suka bilang itu melulu mistis. Saya berpikir baik sekali kalau saya
    dapat banyak “mencatat”nya. Saya sangat bergairah. Dalam kegelisahan
    yang nyaris permanen. Saya coba telusuri saluran-saluran lain. Saya
    menemukan jumlah 99. Semua atas nama Tuhan.

    • Pokok soal apa yang sedang Anda ungkapkan lewat karya TdS99 itu? Apakah ada concern sosial (yang berangkat dari problem personal) yang sedang anda perjuangkan?

    Berabad-abad manusia merekayasa segala aspek budayanya. Setapak demi
    setapak demi peradaban, budaya dan kemuliaan lebih bagi manusia—juga
    makhluk dan kehidupan lainnya.

    Akan hal itu, ada kepercayaan penuh dalam diri saya. Semacam
    idealisasi. Sejarah manusia berjalan dan saya teringat akan waktu.
    Mencoba berimajinasi, yang muncul citra sebuah jam dengan jarum jam yang
    bergerak mundur. Kok mundur? Saya bertanya kepada diri sendiri, apakah
    saya masih percaya pada kemuliaan manusia yang seringkali digagas itu?
    Dan, apakah wujud kemuliaan manusia itu masih seperti ide yang pernah
    saya yakini, dulu? Tapi ujungnya saya tak mau mengubah pikiran saya,
    bahwa saya akan tetap pada idealisasi: Manusia, hanya omong kosong tanpa
    kemuliaan yang berbasis pada adab.

    • Sepertinya Anda menjadi sutradara yang teliti namun rumit untuk TdS99. Adakah studi atau pengamatan khusus untuk membantu mengeksekusi karya itu?

    Pertanyaan ini menyenangkan hati saya, karena ada empati dan simpati
    di dalamnya. Terjadi peristiwa-peristiwa chaotic nyaris setiap detik,
    menumpuk seperti keping-keping puzzle yang dituang dari keranjang dengan
    tampilan image yang serba unik, pada masing-masing keping. Saya seperti
    berdiri dalam benang belukar dan dilempar segumpal benang kusut
    berbagai jenis dan warna. Saya melihat itu sangat rumit, tapi saya harus
    mengurainya. Saya perlu peta untuk dapat menaksir secara lebih jernih
    kualitas fakta dalam kekusutan itu. Saya perlu mengolah, menyusun,
    menata dan menampilkannya menjadi sebuah presentasi yang yang ada arti.
    Atas jawaban seperti itu, saya tidak menolak kalau dinilai
    mendramatisisasi masalah.

    Saya melakukan studi dan pengamatan khusus dalam rangka mengeksekusi
    karya TdS99. Interest saya pada perilaku dan aksi-aksi manusia tak
    menyisakan ruang atau landskap. Aktor-aktor utamanya melulu manusia.
    Saya merasa ada tantangan dan tekanan ketika melakukannya, tetapi tidak
    masif sifatnya karena sumber dan fakta-fakta mengalir dan datang
    menggenangi saya dalam tempo yang tidak seketika. Berhari-hari,
    berbulan-bulan dan bertahun-tahun.

    • Selama ini kan Anda lebih dikenal sebagai seorang ilustrator dan disainer. Nah, bagaimana proses Anda mengerjakan lukisan TdS99?

    Saya bersyukur ada kesempatan menjalani secara praktis
    profesi-profesi itu, karena problem, disiplin, dan praktikanya telah
    mengajari saya estetik dan etik yang beragam. Ulang alik dalam dunia
    ilustrasi dan dunia desain telah membimbing saya pada tradisi “sadar
    keseimbangan” dalam mengelola emosi dan rasionalitas yang selalu muncul
    bersamaan setiap saat mau melakukan eksekusi.

    Secara skala kuantitas – tema, problem, teknis dan fisik – karya
    TdS99 itu rasanya cukup besar. Nah, diluar ide, secara praktis saya
    memulainya dengan mengaplikasikan metoda-metoda dan tata kelola –
    merumuskan masalah, riset, pengumpulan data, analisis, skala prioritas,
    produktifitas sampai masalah efisiensi dan efektifitas – yang lazim
    dilakukan dalam tradisi kerja men-desain.

    Tradisi ilustrasi – yang umumnya dibuat dalam bidang-bidang yang
    relatif kecil – rupanya telah membimbing saya pada tradisi dan orientasi
    ke masalah detail dan rinci.

    Kesimpulannya, pada saat saya mau melakukan eksekusi praktis lukisan
    TdS99, telah tersedia semacam skema dan peta bahkan logistik. Kesemuanya
    menjadi semacam koridor yang walau di dalam proses yang berjalan saya
    selalu terbuka dengan kemungkinan-kemungkinan kebutuhan improvisatoris
    koridor tersebut di atas selalu menghindarkan saya dari tindakan yang
    melenceng secara drastis.

    • Adakah modus kreatif mendasar yang berbeda antara berkarya sebagai illustrator atau disainer dengan sebagai pelukis?

    Perbedaan modus yang mendasar, antara lain, ada pada masalah
    datangnya inisiatif untuk berkarya. Pada umumnya, dalam kerja ilustrasi
    dan—terlebih—desain desain, inisiatif umumnya datang dari luar diri
    saya, sehingga faktor-faktor dan pertimbangan-pertimbangan kreatif,
    estetik dan teknis hampir tidak ada jalan untuk menghindar dari peran
    dan posisi “pihak luar” tadi—penulis cerita, penulis berita atau apa
    yang disebut klien.

    Sedangkan, saya, dalam posisi sebagai pelukis, seluruh inisiatif
    lahir dari dalam diri saya. Sedangkan “pihak luar”—alam, benda, manusia
    dengan segala aspeknya—hanya sebagai sumber, ide atau provokator saja.

    Kesimpulannya, ketika saya berdiri sebagai illustrator dan desainer,
    peran praktisnya adalah kombinasi antara: partnership, pelayanan dan
    kompromi. Oleh karenanya, target “kepuasan” urut prioritasnya
    berorientasi kepada “pihak luar”. Berbeda saat berdiri sebagai pelukis
    (seniman) peran praktis saya sangat otoritatif dan target “kepuasan”pun
    secara prioritas berorientasi kepada diri saya sendiri.

    • Dalam proses pengerjaan karya TdS99, hal krusial apa yang merumitkan pekerjaan tersebut?

    Seperti telah saya ceritakan atas beberapa pertanyaan sebelumnya
    antara lain tentang obsesi, cara, sistematika dan praktika terutama saat
    pra dan proses membuat karya TdS99, saya bersyukur, tidak menjumpai hal rumit yang bersifat krusial.

    Memang ada masalah teknis, tetapi kecil saja. Yaitu, bahwa karya TdS99
    saya kerjakan di ruang relatif sempit, di ruang tamu rumah saya yang
    hanya seluas kurang lebih 3×3 m saja. Ha…ha…ha… Sama sekali tidak
    masalah.

    • Satu karya bertajuk TdS99 ternyata terdiri dari 4 panel hingga panjangnya 12 meter. Butuh waktu berapa lama untuk menuntaskan karya itu?

    Karya TdS99 saya kerjakan pada saat-saat awal hari pensiun
    saya dari pegawai kantoran dan meraih kembali secara penuh seluruh waktu
    yang saya miliki. Sementara, beberapa hal non-teknis relatif telah siap
    ada di kepala, maka, karya TdS99 dapat saya selesaikan dalam waktu yang
    relatif singkat. Sekitar 30 hari dengan jam kerja rata-rata 8 jam per
    hari.

    • Sebagai orang yang tak muda lagi, ini tentu karya yang
    menyita waktu dan tenaga. Atau sebenarya ini semacam solusi atas gejala “post power syndrome” setelah tak sibuk berkantor?


    Ini pertanyaan yang sangat simpatik dan manusiawi. Faktor usia dan
    tenaga yang ada pada orang seperti saya – di atas usia 55 tahun – adalah
    realitas yang tidak boleh saya abaikan. Saya harus menjaga kesadaran
    diri agar tidak bersikap romantik, emosional apalagi ambisius. Saya
    berusaha rileks dan gembira saja dalam melakoni setiap proses kreasi
    tersebut.

    • Anda kurang lebih seperti “pendatang baru” dalam belantara
    seni rupa (kontemporer) Indonesia kini. Apa pembacaan Anda atas tema
    “Contemporaneity” yang disodorkan oleh panitia IAA 2010? Apa Anda tak
    justru berusaha keluar dari “perangkap” tema itu?


    Post Power Syndrome”? Ha…Ha…Ha… Justru kondisi itu yang
    paling tidak saya inginkan ada pada diri saya. Sebagaimana – terus
    terang – saya selalu punya perasaan sulit untuk bisa bersimpati kepada
    penderita syndrome yang Anda maksud.

    Kebenarannya, saya memutuskan diri untuk pensiun dari kerja kantoran
    justru didorong oleh satu-satunya alasan, saya ingin segera dapat
    kembali pada aktivitas dasar dan akar kesenirupaan saya. Saya tidak
    ingin kejam dan menjadi pemasung pada hasrat alamiah yang ada pada diri
    saya.

    Dalam kerja kesenian, saya ingin jernih dan tanpa pamrih. Oleh sebab
    itu, saya tidak tertarik dan tidak risau dengan label-label atau
    klasifikasi tentang: baru-lama, junior-senior, dan lain sebagainya.
    Namun begitu, saya akan menghormati kalau label dan klasifikasi
    (di)berlaku(kan) di dalam masyarakat apresiator kesenian.

    Mengenai hal terkait masalah pembacaan, pembahasan atas tema-tema dan
    wacana-wacana, saya lebih mempercayai, menghormatinya sebagai wilayah
    para pengamat, kritikus.

    Mengenai perangkap tema atau bukan? Terperangkap tema atau tidak?
    Rasanya saya tidak akan pernah tahu. Rambu dan markanya barangkali ada,
    tapi biarlah saya lebih berkonsentrasi pada “jalan alamiah” kesenian
    saya.

    • Tak sedikit pihak yang terkejut dengan pencapaian Anda
    hingga meraih 3 Besar IAA 2010. Ini sudah sempat Anda bayangkan, atau
    tak pernah Anda pikirkan? Kenapa?


    Barangkali jawaban yang akan saya berikan atas pertanyaan ini akan
    terasa dan tampak klise atau seperti sebuah upaya “merendahkan hati”.
    Lintasan harapan tentu ada. Bohong kalau tidak. Saya anggap itu hal
    manusiawi. Memikirkannya? Saya jawab: TIDAK.

    Kenapa? Alasan saya: pertama, saya menyertakan karya saya pada ajang
    IAA-2010 dengan niat “mempergaulkan”, “mendialogkan” dan
    “mengkomunikasikan” karya kesenian saya kepada karya-karya kesenian dari
    teman-teman perupa lainnya. Kedua, terkait “kompetisi”, untuk masalah
    keberhasilan maksimum saya tidak menganggapnya sebagai suatu
    kemustahilan. Namun malah saya memastikan bahwa IAA-2010 adalah sebuah
    ajang yang sangat ketat. Bahwa kemudian karya saya, TdS99, bisa
    meraih prestasi maksimum di IAA-2010 itu, dengan rasa syukur, saya
    menerimanya sebagai sebuah kepercayaan, tanggung jawab dan tantangan.
    Sekali lagi jawaban saya ini sepertinya klise banget.

    • Sebagai orang yang lama bergelut di dunia media massa, yang akrab dengan soal deadline,
    kompromi dengan pemilik kapital (pemasang iklan) dan semacamnya, adakah
    hal spesifik yang Anda lakukan dulu berkait dengan proses kreatif
    sebagai seorang seniman?


    Sebagaimana telah saya singgung pada jawaban saya atas pertanyaan
    sebelumnya, hal spesifik dari pengalaman kerja saya di media massa yang
    saya aplikasikan dalam proses kerja kesenimanan saya adalah, antara
    lain, tradisi kerja sistematik, menghargai proses, efektivitas, etos
    yang baik dan orientasi pada kualitas.

    Dan hal spesifik yang hilang dalam proses kerja kesenimanan saya
    adalah tradisi kompromi yang mutlak dengan organisasi, pemilik kapital,
    klien atau konsumen/pasar.

    • Art project penting apa yang sedang anda kerjakan?

    Telah saya sampaikan juga pada jawaban sebelumnya, bagi saya,
    datangnya apresiasi dan penghargaan berarti dan bermakna secara
    substantif adalah adanya “tuntutan” dan “tantangan” terhadap
    kesinambungan kreativitas saya.

    Karena itu, saat ini saya sedang berpikir untuk dapat menyiapkan
    suatu kegiatan presentasi karya-karya seni rupa saya. Mudah-mudahan
    bisa, ya.


    Wawancara Tatang Ramadhan: “Saya Jaga Agar Tak Romantik” TRB-1-small


    tulisan ini copas dari situs dgi indonesia yg di posting 30 juni 2010
    semoga menjadi inspirasi kita semua.....
    ARWOLUS
    ARWOLUS
    Admin


    Join date : 03.06.11
    Jumlah posting : 183
    Lokasi : somewhere only we know

    Wawancara Tatang Ramadhan: “Saya Jaga Agar Tak Romantik” Empty Re: Wawancara Tatang Ramadhan: “Saya Jaga Agar Tak Romantik”

    Post by ARWOLUS Mon Nov 21, 2011 11:59 pm

    yang ini bukan mas?

    Spoiler:

    Spoiler:
    pamansam
    pamansam
    PENDATANG


    Join date : 21.10.11
    Jumlah posting : 32

    Wawancara Tatang Ramadhan: “Saya Jaga Agar Tak Romantik” Empty Re: Wawancara Tatang Ramadhan: “Saya Jaga Agar Tak Romantik”

    Post by pamansam Tue Nov 22, 2011 2:01 pm

    emang gambar gw gak muncul??
    ARWOLUS
    ARWOLUS
    Admin


    Join date : 03.06.11
    Jumlah posting : 183
    Lokasi : somewhere only we know

    Wawancara Tatang Ramadhan: “Saya Jaga Agar Tak Romantik” Empty Re: Wawancara Tatang Ramadhan: “Saya Jaga Agar Tak Romantik”

    Post by ARWOLUS Tue Nov 22, 2011 2:26 pm

    pamansam wrote:emang gambar gw gak muncul??

    muncul mas..
    gede bgt Razz

    itu pak tatang dosen kan ya?
    pamansam
    pamansam
    PENDATANG


    Join date : 21.10.11
    Jumlah posting : 32

    Wawancara Tatang Ramadhan: “Saya Jaga Agar Tak Romantik” Empty Re: Wawancara Tatang Ramadhan: “Saya Jaga Agar Tak Romantik”

    Post by pamansam Tue Nov 22, 2011 2:26 pm

    iya boos.....

    Sponsored content


    Wawancara Tatang Ramadhan: “Saya Jaga Agar Tak Romantik” Empty Re: Wawancara Tatang Ramadhan: “Saya Jaga Agar Tak Romantik”

    Post by Sponsored content


      Waktu sekarang Fri Nov 22, 2024 11:32 am